CONFESSIONS / KOKUHAKU (2010)

Kamis, 14 Februari 2013

um... kali ini aku akan membahas sebuah cerita yaitu film jepang yaitu KOKUHAKU
atau yang biasa disebut CONFESSIONS
yaitu cerita film pembalas dendaman antara seorang guru kepada murid sekolahnya yang telah membunuh anak guru tersebut
nah kita mulai sekarang yaa
 
Director :
Tetsuya Nakashima

Cast :
Takako Matsu
Kaoru Fujiwara
Yukito Nishii
Ai Hashimoto
Yoshino Kimura

Distributor :
Toho Company

Genre :
Thriller, Drama




Film dibuka dengan dimulainya hari yang baru sekaligus hari terakhir sekolah bagi seluruh murid SMP kelas 1B sebelum liburan tiba. Kebahagiaan akan berakhirnya masa-masa sibuk bersekolah tampak menyelimuti raut wajah mereka semua. Suasana ceria sangat tergambar lewat ributnya kelas tersebut dan aktivitas mereka di hari terakhir. Di hari terakhir sekolah itu masing-masih murid dibagikan susu kotak segar oleh sang guru, Yuuko Moriguchi (Takako Matsu). Seiring waktu berjalan, mereka tetap menikmati susu tersebut di hari yang mereka anggap sangat menyenangkan. Keributan tersebut tidak menghambat Moriguchi untuk berbicara, walaupun tetap saja tidak dihiraukan.Secara perlahan kelas berubah menjadi hening saat Moriguchi menyatakan beberapa pengakuan dirinya, yang pertama adalah bahwa hari itu adalah hari terakhir dirinya mengajar di sekolah tsb.

Pengakuan demi pengakuan terus berlanjut dan tambah seru untuk didengar. Hingga akhirnya seisi kelas dikagetkan oleh pengakuan ibu Moriguchi yang menyatakan bahwa putri tunggalnya, Manami, meninggal di kolam sekolah bukan karena kecelakaan melainkan tewas dibunuh. Dan tidak hanya itu, pengakuan wanita pucat tersebut bertambah mencengangkan saat dirinya menyatakan pembunuhnya adalah dua murid di kelas tersebut yang ia beri label si A dan si B. Dan tunggu dulu, pengakuan belum berhenti. Moriguchi mengakui telah menyuntikkan darah dari orang terinfeksi virus HIV ke dalam susu yang diminum dua orang yang paling bertanggung jawab atas kematian putri tercintanya tersebut. Secara tidak langsung semua siswa akhirnya tau siapa kedua anak tersebut lewat ciri-ciri yang dibeberkan Moriguchi. Awal penderitaan pun dimulai paska kepergian Moriguchi.
Ternyata tidak hanya hollywood atau orang seperti Nolan yang bisa membuat film cerdas seperti apa yang ditawarkan Confessions disini. Dengan premis yang sederhana dan biasanya digunakan untuk film-film genre slasher atau horror, Tetsuya Makashima, selaku sutradara berhasil mengeksekusi premis tersebut lewat jalan cerita yang sangat tereksplor dan mempunyai makna berikut tujuan yang lebih dalam, yang alhasil Confessions merupakan sebuah thriller-phsycology-drama. Setelah sebelumnya berhasil menuai banyak respon baik berkat karyanya Memories of Matsuko yang saya sendiri belum nonton, Makashima sekali lagi sukses merubah tema tersebut menjadi sesuatu yang berbeda lewat ide-ide brilian yang ia sematkan. Film asia memang tidak sedikit yang bagus bahkan sangat bagus, dari keseluruhan asia memang asia timur lah yang menurut saya adalah sumber film-film asia keren yang memang terbukti bagus-bagus. Nggak tau kenapa saya tidak bisa menikmati film-film thailand yang belakangan ini lagi banyak ditonton orang indo, mungkin karena nggak ada pilihan lain kali ya secara film hollywood nggak bisa masuk hahaha.

Tidak seperti film sebangsanya, Confessions bukanlah sebuah slasher yang memberikan kita pengalaman menonton sadis ala Saw, I Saw The Devil, ataupun Death Bell mungkin yang memiliki tema yang sama, yaitu balas dendam. Confessions tidak berpusat pada bagaimana cara orang tersebut membalaskan dendamnya berikut proses lewat aksi bunuh-bunuhan. Bukan. Tapi apa yang coba dituturkan disini adalah bagaimana dampak berikut penderitaan yang nantinya akan menimpa si pelakunya nanti, ya, hukum tabur tuai. Hukum tabur tuai sama halnya dengan karma, mungkin banyak yang masih merasa asing dengan 'hukum' ini karena itu adalah salah satu hal yang pasti lebih dimengerti orang nasrani. Film dibuka dengan narasi dari seorang Moriguchi lewat pengakuannya yang sangat panjang, sekitar 30 menit. Dan untungnya waktu panjang yang dipakai untuk monolog itu sama sekali tidak membosankan. Suasana berubah seiring bertambah tegangnya pengakuan ibu guru tersebut. Dengan atmosfir kelam yang semakin menyelimuti film, nyatanya kita tidak akan dibuat tegang secara berlebihan berkat sisi sinematografi yang lagi-lagi dieksekusi denga sangat rapi. Angle pengambilan gambar, trik slow-motion, sampai scoring film seakan menimbulkan tanda tanya dalam benak saya; apa sih film ini? Apa sebenarnya yang coba dijadikan 'barang seru' film ini?.

Saya suka dengan slow-mo yang sedikit mendominasi 106 menit durasi film berikut scoring yang sangat bertolak belakang dengan atmosfir yang lahir di segi naskah filmnya sendiri. Itulah yang saya suka, dua unsur digabungkan jadi satu hingga akhirnya semuanya campur aduk; kadang suasana terasa tegang, tapi tiba-tiba bisa berubah jadi agak cerah gitu. Hmmm cara yang sempurna untuk memberikan watch-experience yang sedikit berbeda. Dan film tidak hanya berpusat pada tema balas dendam itu sendiri, ada juga isu lain yang coba disematkan walau bukanlah isi dari jalannya cerita, diantaranya kenakalan remaja dan bullying yang banyak terjadi di lingkungan sekolah. Bagaimana bisa adegan-adegan bullying atau kenakalan tersebut bukanlah inti dari cerita Confessions sendiri? Lihat saya aksi bullying yang terjadi di atap sekolah yang sekedar dipertontonkan sebagai selingan dan tidak dijelaskan siapa itu mereka, selain itu coba juga lihat penekanan pengambilan gambar yang sering menyorot aktivitas anak-anak di kelas seperti make-up, main di kelas, dan juga mengaktifkan telepon selular di kelas. Ada juga isu hak perlindungan anak dan kekerasan dalam lingkungan keluarga yang sangat jelas digambarkan disini. Selipan adegan-adegan tersebut semakin menambah kesan alami dan tidak terlalu dibuat-buat. Tidak hanya itu, semua itu adalah cara sempurna untuk menyindir kualitas pendidikan yang semakin menurun.

Gendong aku sampai ajalku


kali ini aku akan memberika sebuah cerita yang di ceritakan oleh teman qw dan siapa pun yang membacanya akan membuatnya terharu 

nah kali ini langsung saja yaaaaahhhhh .... 
semoga cerita ini akan menjadi pelajaran bagi kita 



Suatu malam ketika aku kembali ke rumah, istriku menghidangkan makan malam untukku. Sambil memegang tangannya aku berkata, "Saya ingin mengatakan sesuatu kepadamu." Istriku lalu duduk di samping sambil menemaniku menikmati makan malam dengan tenang. Tiba-tiba aku tidak tahu harus memulai percakapan dari mana. Kata-kata rasanya berat keluar dari mulutku.

Aku ingin sebuah perceraian di antara kami, karena itu aku beranikan diriku. Nampaknya dia tidak terganggu sama sekali dengan pembicaraanku, dia malah balik bertanya kepadaku dengan tenang, "Mengapa?" Aku menolak menjawabnya, ini membuatnya sungguh marah kepadaku. Malam itu kami tidak saling bertegur sapa. Dia terus menangis dan menangis. Aku tahu bahwa dia ingin tahu alasan di balik keinginanku untuk bercerai.

Dengan sebuah rasa bersalah yang dalam, aku membuat sebuah pernyataan persetujuan untuk bercerai dan dia dapat memiliki rumah kami, mobil, dan 30% dari keuntungan perusahaan kami. Dia sungguh marah dan merobek kertas itu. Wanita yang telah menghabiskan 10 tahun hidupnya bersamaku itu telah menjadi orang yang asing di hatiku. Aku minta maaf kepadanya karena dia telah membuang waktunya 10 tahun bersamaku, untuk semua usaha dan energi yang diberikan kepadaku, tapi aku tidak dapat menarik kembali apa yang telah kukatakan kepada Jane, wanita simpananku, bahwa aku sungguh mencintainya. Istriku menangis lagi. Bagiku tangisannya sekarang tidak berarti apa-apa lagi. Keinginanku untuk bercerai telah bulat.

Hari berikutnya, ketika aku kembali ke rumah sedikit larut, kutemukan dia sedang menulis sesuatu di atas meja di ruang tidur kami. Aku tidak makan malam tapi langsung pergi tidur karena ngantuk yang tak tertahankan akibat rasa capai sesudah seharian bertemu dengan Jane. Ketika terbangun, kulihat dia masih duduk di samping meja itu sambil melanjutkan tulisannya. Aku tidak menghiraukannya dan kembali meneruskan tidurku.

Pagi harinya, dia menyerahkan syarat-syarat perceraian yang telah ditulisnya sejak semalam kepadaku. Dia tidak menginginkan sesuatupun dariku, tetapi hanya membutuhkan waktu sebulan sebelum perceraian. Dia memintaku dalam sebulan itu, kami berdua harus berjuang untuk hidup normal layaknya suami istri. Alasannya sangat sederhana. Putra kami akan menjalani ujian dalam bulan itu sehingga dia tidak ingin mengganggunya dengan rencana perceraian kami. Selain itu, dia juga meminta agar aku harus menggendongnya sambil mengenang kembali saat pesta pernikahan kami. Dia memintaku untuk menggendongnya selama sebulan itu dari kamar tidur sampai muka depan pintu setiap pagi.

Aku pikir dia sudah gila. Akan tetapi, biarlah kucoba untuk membuat hari-hari terakhir kami menjadi indah demi perceraian yang kuinginkan, aku pun menyetujui syarat-syarat yang dia berikan. Aku menceritakan kepada Jane tentang hal itu. Jane tertawa terbahak-bahak mendengarnya. "Terserah saja apa yang menjadi tuntutannya tapi yang pasti dia akan menghadapi perceraian yang telah kita rencanakan," kata Jane.

Ada rasa kaku saat menggendongnya untuk pertama kali, karena kami memang tak pernah lagi melakukan hubungan suami istri belakangan ini. Putra kami melihatnya dan bertepuk tangan di belakang kami. "Wow, papa sedang menggendong mama." Sambil memelukku dengan erat, istriku berkata, "Jangan beritahukan perceraian ini kepada putra kita." Aku menurunkannya di depan pintu. Dia lalu pergi ke depan rumah untuk menunggu bus yang akan membawanya ke tempat kerjanya, sedangkan aku mengendarai mobil sendirian ke kantorku.

Pada hari kedua, kami berdua melakukannya dengan lebih mudah. Dia merapat melekat erat di dadaku. Aku dapat mencium dan merasakan keharuman tubuhnya. Aku menyadari bahwa aku tidak memperhatikan wanita ini dengan seksama untuk waktu yang agak lama. Aku menyadari bahwa dia tidak muda seperti dulu lagi, ada bintik-bintik kecil di wajahnya, rambutnya pun sudah mulai beruban. Namun entah kenapa, hal itu membuatku mengingat bagaimana pernikahan kami dulu.

Pada hari keempat, ketika aku menggendongnya, aku mulai merasakan kedekatan. Inilah wanita yang telah memberi dan mengorbankan 10 tahun kehidupannya untukku. Pada hari keenam dan ketujuh, aku mulai menyadari bahwa kedekatan kami sebagai suami istri mulai tumbuh kembali di hatiku. Aku tentu tidak mengatakan perasaan ini kepada Jane.

Suatu hari, aku memperhatikan dia sedang memilih pakaian yang hendak dia kenakan. Dia mencoba beberapa darinya tapi tidak menemukan satu pun yang cocok untuknya. Dia sedikit mengeluh, "Semua pakaianku terasa terlalu besar untuk tubuhku sekarang." Aku mulai menyadari bahwa dia semakin kurus dan itulah sebabnya kenapa aku dapat dengan mudah menggendongnya. Aku menyadari bahwa dia telah memendam banyak luka dan kepahitan hidup di hatinya. Aku lalu mengulurkan tanganku dan menyentuh kepalanya.

Tiba-tiba putra kami muncul dan berkata," Papa, sekarang saatnya untuk menggendong dan membawa mama." Bagi putraku, melihatku menggendong dan membawa mamanya menjadi peristiwa yang penting dalam hidupnya. Istriku mendekati putra kami dan memeluk erat tubuhnya penuh keharuan. Aku memalingkan wajahku dari peristiwa yang bisa mempengaruhi dan mengubah keputusanku untuk bercerai.

Aku lalu mengangkatnya dengan kedua tanganku, berjalan dari kamar tidur kami, melalui ruang santai sampai ke pintu depan. Tangannya melingkar erat di leherku dengan lembut dan sangat romantis layaknya suami istri yang harmonis. Aku pun memeluk erat tubuhnya, seperti momen hari pernikahan kami 10 tahun yang lalu. Akan tetapi tubuhnya yang sekarang ringan membuatku sedih.

Pada hari terakhir, aku menggendongnya dengan kedua lenganku. Aku susah bergerak meski cuma selangkah ke depan. Putra kami telah pergi ke sekolah. Aku memeluknya erat sambil berkata, "Aku tidak pernah memperhatikan selama ini hidup pernikahan kita telah kehilangan keintiman satu dengan yang lain."

Aku mengendarai sendiri kendaraan ke kantorku, mampir ke tempat Jane. Melompat keluar dari mobilku tanpa mengunci pintunya. Begitu cepatnya karena aku takut jangan sampai ada sesuatu yang membuatku mengubah pikiranku. Aku naik ke lantai atas. Jane membuka pintu dan aku langsung berkata padanya. "Maaf Jane, aku tidak ingin menceraikan istriku."

Jane memandangku penuh tanda tanya bercampur keheranan dan kemudian menyentuh dahiku dengan jarinya. Aku mengelak dan berkata, "Maaf Jane, aku tidak akan bercerai. Hidup perkawinanku terasa membosankan karena dia dan aku tidak memaknai setiap momen kehidupan kami, bukan karena kami tidak saling mencintai satu sama lain. Sekarang aku menyadari sejak aku menggendongnya sebagai syaratnya itu, aku ingin terus menggendongnya sampai hari kematian kami."

Jane sangat kaget mendengar jawabanku. Dia menamparku dan kemudian membanting pintu dengan keras. Aku tidak menghiraukannya. Aku menuruni tangga dan mengendarai mobilku pergi menjauhinya. Aku singgah di sebuah toko bunga di sepanjang jalan itu, aku memesan bunga untuk istriku. Gadis penjual bunga bertanya apa yang harus kutulis di kartunya. Aku tersenyum dan menulis, "Aku akan menggendongmu setiap pagi sampai kematian menjemput."

Petang hari ketika aku tiba di rumah, dengan bunga di tanganku, sebuah senyum menghias wajahku. Aku berlari hanya untuk bertemu dengan istriku dan menyerahkan bunga itu sambil merangkulnya untuk memulai sesuatu yang baru dalam perkawinan kami. Tapi apa yang kutemukan? Istriku telah meninggal di atas tempat tidur yang telah kami tempati bersama 10 tahun pernikahan kami.

Aku baru tahu kalau istriku selama ini berjuang melawan kanker ganas yang telah menyerangnya berbulan-bulan tanpa pengetahuanku karena kesibukanku menjalin hubungan asmara dengan Jane. Istriku tahu bahwa dia akan meninggal dalam waktu yang relatif singkat. Meskipun begitu, dia ingin menyelamatkanku dari pandangan negatif yang mungkin lahir dari putra kami karena aku menginginkan perceraian, karena reaksi kebodohanku sebagai seorang suami dan ayah, untuk menceraikan wanita yang telah berkorban selama sepuluh tahun yang mempertahankan pernikahan kami dan demi putra kami.

Betapa berharganya sebuah pernikahan saat kita bisa melihat atau mengingat apa yang membuatnya berharga. Ingat ketika dulu perjuangan yang harus dilakukan, ingat tentang kejadian-kejadian yang telah terjadi di antara kalian, ingat juga tentang janji pernikahan yang telah dikatakan. Semuanya itu harusnya hanya berakhir saat maut memisahkan.

------------------

Sekecil apapun dari peristiwa atau hal dalam hidup sangat mempengaruhi hubungan kita. Itu bukan tergantung pada uang di bank, mobil atau kekayaan apapun namanya. Semuanya ini bisa menciptakan peluang untuk menggapai kebahagiaan tapi sangat pasti bahwa mereka tidak bisa memberikan kebahagiaan itu dari diri mereka sendiri. Suami-istrilah yang harus saling memberi demi kebahagiaan itu.

Karena itu, selalu dan selamanya jadilah teman bagi pasanganmu dan buatlah hal-hal yang kecil untuknya yang dapat membangun dan memperkuat hubungan dan keakraban di dalam hidup perkawinanmu. Milikilah sebuah perkawinan yang bahagia. Kamu pasti bisa mendapatkannya.